26 Feb 2021
Ika
Sudah banyak cerita kalau proses persalinan adalah proses meregang nyawa dan penuh dengan berbagai drama. Pasalnya, ibu yang melahirkan bisa mengalami berbagai komplikasi, salah satunya adalah ruptur uteri.
Ruptur uteri adalah kondisi jika terjadinya robekan pada dinding rahim ibu hamil. Umumnya, kondisi ini terjadi pada ibu hamil yang mencoba melahirkan normal dengan riwayat caesar sebelumnya ataupun pernah melakukan operasi rahim lainnya, seperti pengangkatan fibroid atau perbaikan rahim yang bermasalah.
Ruptur uteri terjadi karena selama persalinan normal, pergerakan bayi melalui jalan lahir memberi tekanan kuat pada rahim sehingga bisa menyebabkan rahim ibu robek. Namun, hal ini juga bisa terjadi sebelum waktu persalinan. Robekan tersebut seringkali timbul di sepanjang bekas luka caesar sebelumnya.
Gejala Ruptur Uteri
Ruptur uteri atau robekan dinding rahim tidak dapat diprediksi atau didiagnosis secara akurat sebelum hal itu benar-benar terjadi. Gejala ini dapat terjadi tiba-tiba selama persalinan dengan tanda-tanda seperti, perdarahan vagina, nyeri luar biasa saat kontraksi, kontraksi yang lambat atau kurang intens.
Dalam beberapa kasus, bisa juga terasa sakit perut atau nyeri yang tidak biasa, resesi kepala janin (kepala bayi bergerak kembali ke jalan lahir), menggembung di bawah tulang kemaluan (kepala bayi telah menonjol di luar bekas luka uterus), rasa nyeri yang tajam di bagian bekas luka sebelumnya, uterus atonia (melemahnya otot rahim), dan denyut jantung cepat, serta hipotensi (tekanan darah rendah abnormal).
Selain itu, ada pula faktor risiko ruptur uteri yang lain seperti, pernah melahirkan sebanyak lima kali atau lebih, rahim yang terlalu besar atau buncit karena banyaknya cairan ketuban atau mengandung bayi kembar, plasenta yang menempel terlalu dalam pada dinding rahim, kontraksi yang terlalu sering dan kuat, baik terjadi secara tiba-tiba atau akibat obat-obatan tertentu.
Faktor risiko lain terkait dengan solusio plasenta (lepasnya plasenta dari dinding rahim), trauma rahim, dan proses persalinan yang lama karena ukuran bayi terlalu besar bagi panggul ibu. Selanjutnya mengenai solusia plasenta, dapat disimak dalam artikel ini.
Penyebab Ruptur Uteri saat Persalinan
Kebanyakan kasus ruptur uteri saat proses persalinan terjadi tepat di area bekas luka dari operasi caesar sebelumnya. Kemudian ketika menjalani persalinan normal, pergerakan bayi akan memberikan tekanan kuat pada rahim. Saking kuatnya, tekanan yang ditimbulkan dari pergerkan bayi tersebut dapat memengaruhi bekas luka operasi caesar.Hal inilah yang membuat ruptur uteri karena rahim seolah menahan berat dan tekanan dari pergerakan bayi.
Robekan pada rahim ini biasanya sangat terlihat di area bekas luka pada operasi caesar sebelumnya. Ketika ruptur uteri terjadi, bayi yang ada di dalam rahim dapat naik dan mengarah kembali ke perut ibu. Ya, alih-alih keluar dari rahim, seluruh isi rahim termasuk bayi justru akan masuk ke perut ibu. Kondisi rahim robek paling berisiko terjadi pada ibu yang memiliki sayatan vertikal bekasi operasi caesar di bagian atas rahim.
Selain itu, jika Moms pernah melakukan berbagai jenis operasi pada rahim sebelumnya, hal ini bisa menjadi penyebab ruptur uteri. Operasi pengangkatan tumor jinak atau fibroid pada rahim dan melakukan perbaikan pada rahim yang bermasalah bisa jadi salah satu penyebabnya. Sementara kemungkinan rahim robek padahal kondisinya tergolong sehat sangat jarang terjadi.
Kondisi rahim sehat di sini maksudnya belum pernah melahirkan sebelumnya, tidak pernah menjalani operasi pada rahim, maupun pernah melahirkan tapi dengan metode normal. Akan tetapi, meski kondisi rahim ibu sehat, tetap tidak menutup kemungkinan komplikasi melahirkan yang satu ini bisa saja terjadi. Hal ini tergantung dari faktor risiko yang ibu miliki.
Bukan cuma itu, faktor risiko lain ruptur uteri juga bila persalinan diinduksi. Pasalnya, obat induksi tertentu dapat dikaitkan dengan risiko tinggi robekan dinding rahim dan tidak boleh digunakan untuk menginduksi persalinan bagi perempuan yang berencana VBAC. Lalu, wanita yang berusia lebih dari 30 tahun dan wanita menjalani proses persalinan dengan VBAC setelah minggu ke-40 kehamilan.
Cara menangani ruptur uteri
Ruptur uteri seringkali terjadi tiba-tiba dan sulit didiagnosis karena gejalanya tidak spesifik. Jika dokter mencurigai Moms mengalami kondisi ini, maka dokter akan mencari tanda-tanda gawat janin, seperti detak jantung yang lambat. Semakin cepat penanganan, maka semakin besar pula peluang ibu dan bayi untuk bertahan hidup. Ketika ibu mengalami ruptur uteri, maka dokter harus bertindak cepat untuk mengeluarkan bayi.
Sedangkan, satu-satunya cara untuk mencegah ruptur uteri adalah dengan melakukan operasi caesar saat persalinan. Dokter akan menyarankan hal ini sebelum memasuki waktu persalinan, namun tentu dengan mempertimbangan kondisi ibu hamil maupun janin.
Bagikan Artikel
Shop at MOOIMOM